Anak-Anak yang Dilupakan: Tragedi Thalidomide yang Mengguncang Dunia
Di suatu pagi pada tahun 1962, seorang bidan di Hamburg, Jerman, menggigit bibirnya kuat-kuat saat membantu persalinan. Bayi yang lahir itu memiliki lengan kecil yang tumbuh langsung dari bahu, seperti sirip. Ini bukan kasus pertama. Di seluruh Eropa, rumah sakit mulai melaporkan kelahiran bayi-bayi dengan cacat mengerikan. Dokter-dokter kebingungan. Apa yang sedang terjadi?
Asal mula malapetaka ini berawal lima tahun sebelumnya. Tahun 1957, perusahaan farmasi Jerman, Chemie Grünenthal, meluncurkan obat baru bernama Thalidomide. Obat ini dipasarkan sebagai solusi ajaib untuk ibu hamil yang menderita morning sickness. Iklan-iklan menggembar-gemborkan keamanannya. "Tidak beracun sama sekali," klaim brosur obat itu. Dalam waktu singkat, Thalidomide menyebar ke 46 negara.
Tapi di balik klaim keamanan itu, sesuatu yang mengerikan sedang terjadi dalam rahim-rahim ibu yang mengonsumsinya. Obat ini ternyata mampu menembus plasenta dan mengganggu pertumbuhan janin. Bayi-bayi mulai lahir dengan kondisi yang disebut phocomelia - anggota badan yang tidak berkembang sempurna, menyerupai sirip anjing laut. Ada yang tanpa lengan, tanpa kaki, atau keduanya. Beberapa lahir buta, tuli, atau dengan kerusakan organ dalam.
Di Inggris saja, lebih dari 2.000 bayi menjadi korban. Di Jerman, angka resmi menyebutkan 5.000 kasus, meski banyak yang menduga jumlah sebenarnya lebih tinggi. Seluruh dunia gempar ketika hubungan antara Thalidomide dan cacat lahir ini terungkap.
Yang lebih menyedihkan adalah bagaimana perusahaan farmasi menanggapi tragedi ini. Bukannya menarik produk segera, Grünenthal justru awalnya menyangkal hubungan antara obat mereka dengan cacat lahir. Butuh tekanan internasional dan laporan-laporan media yang gencar sebelum akhirnya obat ini ditarik dari peredaran pada tahun 1962.
Anak-anak Thalidomide tumbuh dengan berbagai kesulitan. Di era 1960-an, fasilitas untuk penyandang disabilitas masih sangat minim. Banyak dari mereka diejek, dikucilkan, atau bahkan disembunyikan oleh keluarga sendiri. Beberapa harus belajar menulis dengan mulut karena tidak memiliki tangan. Yang lain memakai kaki palsu sejak balita.
Perjuangan hukum para korban berlangsung puluhan tahun. Baru pada tahun 2012 - tepat 50 tahun setelah tragedi - Grünenthal akhirnya secara resmi meminta maaf. Perusahaan itu mendirikan yayasan untuk membantu korban dengan dana kompensasi.
Tragedi Thalidomide tidak sia-sia. Dunia belajar pelajaran berharga. Regulasi obat-obatan menjadi jauh lebih ketat setelah kasus ini. Setiap obat baru sekarang harus melalui uji klinis yang ketat, terutama untuk efek terhadap kehamilan.
Saat ini, anak-anak Thalidomide telah menjadi kakek dan nenek. Banyak dari mereka menjadi aktivis yang gigih memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Kisah mereka adalah pengingat abadi tentang betapa berbahayanya keserakahan perusahaan dan pentingnya pengawasan ketat terhadap industri farmasi.
Referensi:
- The Thalidomide Trust, Inggris
- "Dark Remedy: The Impact of Thalidomide and Its Revival as a Vital Medicine" oleh Trent Stephens & Rock Brynner
- Arsip Badan Pengawas Obat Jerman (BfArM)
- Dokumenter BBC "Thalidomide: The Fifty Year Fight"
Comments
Post a Comment